APAKAH INDONESIA SUDAH MENJADI
NEGARA SWASEMBADA PANGAN?
Terlepas dari
pertimbangan dan argumentasi apa pun, dengan dilakukan nya impor beras, maka
rontoklah proklamasi swasembada
beras, yang pernah diikralkan pada tahun1984 dan 2008 lalu.
Pemerintah pun sejak
2004 silam telah menetapkan swasembada pangan ini, yang ditargetkan bisa
tercapai pada 2014, tahun depan, di antaranya dengan menggandeng para gubernur.
Bisakah?
Mampukan Indonesia berswasembada pangan? Paling tidak swasembada beras seperti
1987 silam. Sebagian kalangan pesimistis dengan tekad pemerintah untuk
berswasembada pangan pada tahun depan. Tentunya bukan tanpa alasan kita merasa
pesimistis. Kita bisa tengok kondisi lahan pertanian di Indonesia. Dalam 9
tahun ini saja, jumlah petani berkurang sekitar 14 juta. Tahun ini, petani di
Indonesia tinggal 26,1 juta orang. Sementara 100 ribu hektare lahan pertanian
berubah fungsi setiap tahunnya.
Itu
baru soal beras. Belum lagi jika kita bahas empat bahan pangan lainnya, yakni
gula, jagung, kedelai, dan termasuk daging. Kelima bahan pangan ini tidak
pernah lepas dari pasokan impor, karena rendah produksi dalam negeri
dibandingkan tingkat konsumsi nasional. Kendati Indonesia ini masih dikatakan
sebagai negara agraris, toh kenyataannya pemerintah masih bergantung pada impor
untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Terkait persoalan
anggaran untuk mengejar target swasembada pangan pada tahun depan, dari total
pagu anggaran Kementerian Pertanian 2014 sebesar Rp 15,47 triliun, sekitar Rp
8,238 triliun akan dimanfaatkan untuk mencapai swasembada pangan.
SWASEMBADA BERAS
Beras
misalnya, berdasarkan data BPS, hingga pada Agustus 2013 saja, Indonesia sudah
mengimpor beras hingga 35.818 ton dengan nilai US$19,132 juta, yang dipasok
Vietnam, Thailand, Pakistan, India, dan Myanmar. Jika diakumulasikan dari
Januari hingga Agustus 2013, beras yang masuk ke Indonesia mencapai 302.707 ton
senilai US$156,332 juta. Jumlah impor beras ini diperkirakan mencapai 600 ribu
ton tiap tahunnya.
Jika
menilik produksi beras pada 2012 lalu, sesungguhnya Indonesia tidak perlu
melakukan impor beras. Berdasarkan data BPS, produksi gabah giling tahun 2012
mencapai 69,05 juta ton atau setara 40,05 juta ton beras. Sedangkan konsumsi
beras rakyat Indonesia sekitar 139 kg per kapita per tahun atau total mencapai
34,04 juta ton per tahun, atau surplus hingga 6 juta ton. Demikian pula dengan
tahun ini, pemerintah pun sebenarnya optimistis tidak lagi harus impor beras.
Namun pada kenyataannya, Indonesia masih saja mengimpor beras dari
negara-negara tetangga.
Dengan
potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berlimpah, sesungguhnya
Indonesia patut tetap optimistis bisa berswasembada pangan. Gerakan masif
swasembada pangan bisa dimulai dari tingkat kota/kabupaten atau provinsi,
seperti dicanangkan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, untuk mampu memenuhi
kebutuhan pangan secara mandiri. Tidak lagi harus bergantung pada pasokan dari
luar provinsi apalagi impor. Salah satunya mengonsumsi aneka pangan melalui
Gerakan Konsumsi Pangan Lokal Tingkat Provinsi Jawa Barat yang telah
dicanangkan Juni lalu.
Kementerian Pertanian pada 2014
mengalokasikan anggaran sebesar Rp 8,23 triliun untuk program swasembada
nasional. "Anggaran terbesar dialokasikan untuk mendukung pencapaian
surplus 10 juta ton beras yakni sebesar Rp 4,54 triliun," kata Menteri
Pertanian Suswono.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di sisa masa pemerintahannya telah menargetkan swasembada pangan pada
kelima komoditas pangan utama tersebut. Kepala Negara memprediksi pada 2013
kebutuhan beras mencapai 33 juta ton dan sasaran produksi pada 2014 adalah
surplus beras 10 juta ton.
Ada beberapa alasan
mengapa target swasembada pangan 2014 diyakini terancam gagal lagi. Pertama,
daya dukung lahan pertanian semakin menyempit. Pada periode 1992-2002 laju
tahunan koversi lahan baru 110.000 ha, melonjak menjadi 145.000 ha per tahun
pada periode 2002-2006 (Kompas, 24/5/2011). Dengan demikian, selama 15 tahun
laju penyusutan lahan pertanian mencapai 1,935 juta ha atau 120.000 ha per
tahun. Konversi lahan pertanian tersebut dua kali lebih luas daripada target
pencetakan sawah baru sekitar 60.000 ha per tahun. Sementara di Jawa, laju
konversi lahan bahkan mencapai 200.000 ha per tahun pada periode 2007-2010.
Padahal, meskipun luasnya hanya 6% dari luas Indonesia, Jawa menyumbang antara
50-70% produksi berbagai komoditas pangan nasional. Dengan rata-rata konversi
lahan sebesar 120.000 ha per tahun, maka lahan pertanian Indonesia seluas 7,75
juta ha akan habis dalam 65 tahun mendatang.
Mewujudkan Swasembada Beras
Persoalan di atas menuntut langkah-langkah ekstra serta komitmen yang kuat
dan nyata dari semua pihak terkait untuk mewujudkan swasembada beras, berupa:
1. Melakukan Pencetakan
Areal Persawahan Baru.
Untuk dapat mewujudkan surplus 10 juta ton beras mulai 2014
diperlukan minimal pencetakan areal persawahan baru sebesar 1 juta hektar.
Langkah ini sangat dimungkinkan mengingat ketersediaan lahan yang sangat
memadai;
2. Segera Merealisasikan Food Estate
Merealisasikan food
estate secepatnya yang dimotori
langsung oleh pemerintah melalui BUMN-BUMN terkait. Langkah ini menjadi wujud
nyata turun tangannya negara dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya dan
komoditas yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak;
3. Mempromosikan dan Mengampanyekan Diversifikasi
Pangan.
Kegiatan
ini mesti dilaksanakan secara masif dan intensif dalam bentuk iklan-iklan atau
program-program yang komunikatif dibarengi pula inovasi-inovasi dalam
memproduksi makanan-makanan alternatif yang berbahan baku komoditas pangan
lokal lain;
4. Revitalisasi Irigasi Teknis serta Pembangunan
Bendungan Baru.
Dikarenakan belanja modal pemerintah yang sangat mahal dan juga terbatas,
maka diperlukan upaya sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Selain itu, mengaktifkan dan mengefektifkan kembali kelembagaan lain yang
berkaitan erat dengan pertanian seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di
Jawa Barat;
5. Mengefektifkan Perlindungan Lahan Abadi Untuk
Persawahan.
Diperlukan
efektifitas kegiatan perlindungan lahan abadi areal persawahan. Untuk itu
diperlukan komitmen, keseriusan, dan kemampuan aparat negara dalam melaksanakan
sekian peraturan perundangan yang telah dimiliki. Pada tingkat strategis, Indonesia
telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pangan Berkelanjutan.
Penjabaran
UU 41/2009 ini pun sebenarnya sudah sangat komprehensif dengan dibuatnya
beberapa peraturan pemerintah (PP), yaitu: PP 1/2011 tentang Penetapan dan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP 25/2012 tentang Sistem
Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta PP 30/2012 tentang
Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
6. Menekan Pengalihfungsian Lahan Potensial dan
Produktif.
Dalam rangka menekan pembiaran bagi lahan produktif dan juga mengurangi
alih fungsi lahan potensial, dapat dilalukan cara misalnya, merumuskan pajak
tanah progresif, memberikan sanksi tegas bagi tanah terlantar yang disengaja,
serta mengembangkan efisiensi atau hemat lahan untuk aktivitas industri,
perumahan, dan juga untuk perdagangan;
7. Arah Kebijakan Zero Impor.
Dengan
arah Kebijakan yang zero importasi akan mendorong optimalisasi dan peningkatan
produksi serta mengefektifkan peran dan fungsi Bulog untuk menyerap hasil
produksi petani. Memang sering terjadi polemik diantara beberapa pemangku
kebijakan tentang hasil produksi, namun saya kira hakim yang paling objektif
adalah harga. Jika harga beras terlalu tinggi melampaui harga kenaikan yang
wajar, merupakan indikasi kuat adanya kelangkaan barang.
Mewujudkan swasembada beras menjadi keharusan karena swasembada adalah yang
menjadi pilar kedaulatan pangan. Berdaulat pangan tidak hanya berarti bahwa
setiap saat pangan tersedia dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman
dikonsumsi, dan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Namun, lebih jauh dari
itu berdaulat pangan juga berarti memiliki kemandirian dalam memproduksi pangan
untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri serta meningkatnya taraf hidup dan
kualitas hidup petani pangan sebagai penghasil.
SWASEMBADA
GULA
Indonesia, sekali lagi mengundurkan target swasembada gula
sampai tahun 2014 dengan target 5,7 juta ton gula, dengan perincian 2,96 juta
ton untuk kebutuhan rumah tangga dan 2,74 juta ton untuk industri. Namun,
kenapa target swasembada ini kembali di undur? Tentu ada persoalan struktural
sistem produksi, khususnya tentang ketersediaan lahan, kualitas bibit tebu
unggul, dan manajemen usahatani tebu masih belum akan dapat diselesaikan dalam
waktu dekat.
Menurut Achmad Manggabarani, pengaman Perkebunan, untuk
mencapai produksi gula 5,7 juta ton itu, setidaknya diperlukan tambahan lahan
perkebunan tebu sedikitnya seluas 350.000 hektare, suatu angka yang cukup besar
dan sepertinya sulit untuk didapatkan.
“Sebenarnya pemerintah, melalui Kementerian Kehutanan pernah menjanjikan akan memberikan lahan bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang telah dicabut izin pengelolaannya karena aktivitasnya tidak jelas dan bisa dikonversi menjadi lahan perkebunan tebu. Akan tetapi ternyata persoalan lahan tidak sesederhana yang diperkirakan, sehingga realiasi pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit direalisasikan”, jelasnya.
Jika permasalahan lahan ini tidak segera terealisasi, maka target swasembada gula yang dicanangkan oleh pemerintah bisa dipastikan akan kembali diundur lagi, karena dengan lahan yang ada saat ini sekitar 450.000 ribu hektar dipastikan produksi gula maksimal yang akan dihasilkan pada tahun 2014 hanya 3,2 juta ton, amat jauh dari target 5,7 juta ton.
“Sebenarnya pemerintah, melalui Kementerian Kehutanan pernah menjanjikan akan memberikan lahan bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang telah dicabut izin pengelolaannya karena aktivitasnya tidak jelas dan bisa dikonversi menjadi lahan perkebunan tebu. Akan tetapi ternyata persoalan lahan tidak sesederhana yang diperkirakan, sehingga realiasi pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit direalisasikan”, jelasnya.
Jika permasalahan lahan ini tidak segera terealisasi, maka target swasembada gula yang dicanangkan oleh pemerintah bisa dipastikan akan kembali diundur lagi, karena dengan lahan yang ada saat ini sekitar 450.000 ribu hektar dipastikan produksi gula maksimal yang akan dihasilkan pada tahun 2014 hanya 3,2 juta ton, amat jauh dari target 5,7 juta ton.
Bahkan,
kata Siswono, pada 2012, karena juga menyadari bahwa tidak mungkin bisa
berswasembada gula, pemerintah lalu membedakan antara gula untuk kebutuhan
langsung rakyat dan gula untuk kebutuhan industri.
Swasembada hanya ditujukan untuk gula rakyat. Gula industri
tidak. “Itu eufemisme yang tidak lucu,” katanya (Lihat: Impor itu Boleh untuk
Jangka Pendek).
Sementara itu untuk
mencapai program swasembada tebu/gula tahun 2014, Kementan akan melalukan
langkah-langkah intensifikasi/Rawat ratoon seluas 61.000 ha, bongkar ratoon
seluas 8.000 ha, perluasan areal (ekstensifikasi) seluas 10.000 ha, dan
penggunaan benih varietas unggul (kultur jaringan) sebanyak 2.250 ha.
Begitu juga dengan
komoditas gula, politisi dari PPP itu menilai, ada kesalahan perencanaan.
Menurutnya insentif seharusnya diberikan kepada pabrik gula berbasis tebu,
bukan pabrik rafinasi.
Suswono menambahkan,
pihaknya hanya merevisi target swasembada gula. Masalahnya, swasembada tersebut
tidak tercapai, karena penambahan lahan yang tidak ada, revitalisasi pabrik
belum terlaksana, dan tidak adanya pembangunan pabrik gula baru.
“Revisi target sementara
di gula. Yang lain-lain masih dioptimalkan. Target semula 5,7 juta ton untuk
konsumsi rumah tangga dan industri. Karena tidak ada lahan, revitalisasi
pabrik, dan penambahan pabrik gula, kami konsentrasi pada target 3,1 juta ton
untuk konsumsi tahun depan,” kata dia.
Kapasitas pabrik
rafinasi bisa 5,7 juta ton bisa dicapai dalam kurun waktu 10 tahun. Sementara pabrik
gula berbasis tebu dalam 153 tahun beroperasi baru 5,7 juta ton.
Menurut dia, pemerintah
perlu koreksi kebijakan gula ke depan. Jadi merajalelanya gula rafinasi tidak
memakan industri gula berbasis tebu, katanya.
“Tahun depan program
swasembada gula sulit tercapai. Apalagi proyeksi Juli 2014,sebesar 2,7 juta ton
harusnya dikoreksi,” katanya. Perluasan areal tanam tebu seluas 79.000 ha.
“Revisi target sementara di gula. Yang
lain-lain masih dioptimalkan. Target semula 5,7 juta ton untuk konsumsi rumah
tangga dan industri. Karena tidak ada lahan, revitalisasi pabrik, dan
penambahan pabrik gula, kami konsentrasi pada target 3,1 juta ton untuk
konsumsi tahun depan,” kata dia.
SWASEMBADA
DAGING SAPI
Sedangkan untuk
daging, produktivitas dan produksi daging sapi nasional hanya mampu naik 100
ton dalam tempo 10 tahun. Produktivitas daging nasional mencapai 350 ton per
tahun pada tahun 2000 namun hanya naik menjadi 450 ton di tahun 2010.
“Sekarang ini produksi
daging lokal capai 536 ribu ton sedangkan kebutuhannya capai 580 ribu ton
sehingga kekurangann masih perlu impor,” imbuhnya.
Adapun
populasi sapi dan kerbau nasional untuk saat ini mencapai 14,8 juta. Dari
jumlah tersebut, sekitar 50,68% populasinya berada di Pulau Jawa sedangkan
sisanya di sumatra (18%), Bali dan Nusa Tenggara (14%). “Sisanya di Kalimantan
dan Sulawesi,” katanya
Terkait swasembada daging sapi langkah-langkah yang akan
ditempuh Kementan adalah, produksi semen beku sebanyak 5.600.000 straw dan
embrio beku sebanyak 800 embrio, Peningkatan tingkat kelahiran melalui
pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) sebanyak 1.100.000 ekor dan kawin alam
sebanyak 2.100.000 ekor, serta asuransi ternak dengan rincian sapi potong 30.000
ekor dan sapi perah 10.000 ekor Guna mencapai target tersebut, imbuh Suswono.
Kementerian Pertanian
menargetkan konsumsi daging sapi yang dipasok dari petani lokal sebesar 85
persen, dan tahun depan ditargetkan konsumsi mencapai 90 persen. Langkah berani
dari pemerintah ini menyusul semakin tingginya populasi sapi milik peternak
Indonesia.
Menteri Pertanian
Suswono menjelaskan target populasi sapi Indonesia awalnya 12 juta ekor namun
ternyata berdasarkan hasil sensus dari Badan Pusat Statistik pada 2011,
populasi sapi potong mencapai 14.824.373 ekor dan sapi 597.213 ekor.
“Dari 14 juta bisa
mendukung konsumsi dalam negeri bisa mencapai 80 persen dan tahun ini 85 persen
dan tahun depan tinggal 10 persen. Ini bisa mendukung konsumsi daging dalam
negeri,” katanya.
Menurutnya, swasembada daging sapi tidak bakal tercapai pada 2014.
“Itu tidak realistis,” katanya. Ia menjelaskan, faktanya, saat ini, hampir
terjadi penurunan produksi di berbagai sentra peternakan sapi di Indonesia.
Data Aspidi, misalnya, menyebut bahwa jumlah ternak sapi di
Bali berkurang 28%, Jawa berkurang antara 25%-28%, di Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur berkurang 5%.
”Di Bali makin turun, karena masyarakatnya tidak makan
daging sapi. Lahan juga makin mahal dan lebih menguntungkan dialihkan ke sektor
pariwisata,” katanya.
Kebutuhan daging sapi nasional diperkirakan mencapai 510.000
ton. Dari angka itu, sekitar 80%-85% diklaim bisa dipenuhi dari produksi dalam
negeri. Karena itu, pemerintah hanya mengimpor sekitar 15% atau 95.0000 ton
pada 2012 lalu.
Namun, kemudian terbukti kalau pasokan sapi lokal tidak
sesuai dengan perhitungan, hingga mengakibatkan harga daging sapi melonjak
drastis. Belajar dari pengalaman itu, saat ini sistem impor daging sapi tidak
lagi menganut sistem kuota. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) Nomor 46/M-DAG/KEP/8/2013 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan,
yang dikeluarkan awal September ini, mekanisme impor daging sapi menggunakan
sistem harga referensi (harga patokan).
Dalam sistem baru ini, pemerintah hanya menetapkan harga
daging sapi di pasar harus berada di kisaran Rp 76.000 per kilogram. Impor
untuk menurunkan harga dilakukan bila harga daging naik 15% lebih mahal atau
mencapai Rp 114.000 per kilogram.
Sebaliknya, impor dihentikan bila harga turun 5% atau
mencapai Rp 72.200 per kilogram. “Terkait dengan impor sapi, kita lakukan
relaksasi. Tidak ada lagi restriksi, hanya menggunakan harga referensi,” kata
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Selain daging sapi, komoditas lain yang juga menggunakan
sistem harga referensi ini adalah bawang merah dan cabai. Ini ditetapkan dalam
Permendag Nomor 47/M-DAG/KEP/8/2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura.
Sementara untuk komoditas daging, kata Rusman, tidak mungkin tidak impor karena populasi sapi potong maupun indukan di Indonesia masih sangat kurang.
Sementara untuk komoditas daging, kata Rusman, tidak mungkin tidak impor karena populasi sapi potong maupun indukan di Indonesia masih sangat kurang.
SWASEMBADA JAGUNG
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengingatkan pemerintah agar
fokus mempertahankan swasembada jagung berkelanjutan. Produksi jagung yang
hampir mencapai 20 juta ton per tahun seharusnya cukup memenuhi kebutuhan
nasional.
"Produksi surplus. Tapi saya kira produksi dalam negri masih harus ditambah karena permintaan juga meningkat," ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron, Kamis (25/4).
Ia juga menyoroti proses pengeringan jagung yang kurang efisien. Jika proses ini tidak berjalan baik, maka bagian dalam jagung rentan keropos.
Pemerintah disarankan untuk menyediakan mesin pengering jagung untuk melancarkan penanganan paska panen, terutama pada musim pengujan. Jagung yang keropos tidak baik untuk pakan ternak maupun ikan.
Sementara itu, politisi Golkar Firman Soebagyo meminta pemerintah selektif dalam belanja terkait bahan pangan. Dana APBN harus juga menyentuh kesejahteraan petani, dibandingkan habis untuk menyediakan makanan pokok secara instan. "Perbaikan irigasi, misalnya," ujar Firman kepada ROL.
Menurutnya, data kebutuhan pangan selama ini berada di wilayah abu-abu. Ia mengingatkan pula agar pemerintah tidak terbebani dengan intervensi asing yang ingin melakukan impor terus-menerus. Indonesia merupakan objek pasar yang besar bagi dunia internasional.
"Produksi surplus. Tapi saya kira produksi dalam negri masih harus ditambah karena permintaan juga meningkat," ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron, Kamis (25/4).
Ia juga menyoroti proses pengeringan jagung yang kurang efisien. Jika proses ini tidak berjalan baik, maka bagian dalam jagung rentan keropos.
Pemerintah disarankan untuk menyediakan mesin pengering jagung untuk melancarkan penanganan paska panen, terutama pada musim pengujan. Jagung yang keropos tidak baik untuk pakan ternak maupun ikan.
Sementara itu, politisi Golkar Firman Soebagyo meminta pemerintah selektif dalam belanja terkait bahan pangan. Dana APBN harus juga menyentuh kesejahteraan petani, dibandingkan habis untuk menyediakan makanan pokok secara instan. "Perbaikan irigasi, misalnya," ujar Firman kepada ROL.
Menurutnya, data kebutuhan pangan selama ini berada di wilayah abu-abu. Ia mengingatkan pula agar pemerintah tidak terbebani dengan intervensi asing yang ingin melakukan impor terus-menerus. Indonesia merupakan objek pasar yang besar bagi dunia internasional.
Selain itu, Suswono menuturkan alokasi anggaran untuk swasembada
jagung berkelanjutan mencapai Rp 398,2 miliar.
Begitu pun untuk
komoditas jagung, selain faktor minimnya kepemilikan lahan, teknologi
pengolahan pasca panen masih menjadi kendala terbesar.
Saat musim panen,
bulan Mei, Juni, dan Juli produktivitas jagung nasional mencapai surplus namun
kelebihan stok tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan selama 9 bulan
setelahnya.
“Tidak bisa disimpan
dengan baik sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan,” ujarnya.
Sementara untuk produksi jagung
ditargetkan mencapai 20 juta ton meskipun produksi diperkirakan sebesar 19 juta
dan kebutuhan jagung tahun depan sebesar 14, 62 juta ton.
Program prioritas tersebut, antara lain, Sekolah
Lapang-Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) SL-PTT jagung seluas 340.000 ha.
SWASEMBADA KEDELAI
Untuk komoditas pangan
dari sektor pertanian diakui Agung salah satu penyebabnya 52 persen
infrastruktur irigasi yang sudah dibangun di era orde Baru dalam kondisi rusak
parah, bahkan penyerapan tenaga kerja bidang pertanian menurun drastic hingga
separuhnya.
“Tahun 1976 penyerapan
tenaga kerja bidang pertanian capai 64,16 dan kini hanya mampu menyerap 33
persen tenaga kerja,” kata alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini.
Dia menerangkan
produkktivitas kedelai nasional juga saat ini capai 1,3 juta ton per tahun
sementara kebutuhannya mencapai sekitar 2,6 juta ton. Sedangkan untuk Gula,
produksinya mencapai 2,17 ton sedangkan kebutuhannnya mencapai 2,9 juta ton.
Kementerian Pertanian berusaha keras mengembalikan Indonesia
sebagai negara yang mampu berswasembada kedelai.
"Indonesia pernah sukses swasembada kedelai tahun 1992," kata Menteri Pertanian Soeswono dalam pencanangan perluasan lahan tanaman kedelai yang dilakukan Kementan dan markas TNI di Desa Ponggang, Subang, Jawa Barat, Rabu, 14 Mei 2014.
Keberhasilan swasembada kedelai pada era tersebut, ujar Soeswono, karena luas lahan tanam dan institusi penyangga harga. Pada 1992, luas lahan yang ditanami kedelai mencapai 1,6 juta hektare dan harga kedelai di dalam negeri yang didilindungi Bulog bisa bersaing sehat dengan pasar internasional, sehingga para petani bersemangat menanam kedelai.
"Setelah Bulog tidak lagi berperan sebagai penyangga harga, harga kedelai terjun bebas dan petani malas menanamnya kembali," kata Soeswono.
Menurut Soeswono, kebutuhan kedelai dalam negeri saat ini mencapai 2,2 juta setiap tahun. Namun kemampuan produksi dalam negeri hanya 843,1 ribu ton atau kurang dari 45 persen. "Sisanya dipenuhi kedelai produk impor," ujar Soeswono.
Saat ini, ketika Bulog diberi peran penyangga dan pengendali harga kedelai, kesempatan menggerakan kembali petani menuju swasembada terbuka lebar. Caranya, dengan memanfaatkan lahan tidur yang tidak diolah dan menggandeng TNI bersama petani untuk merealisasikan perluasan tanamnya. (Baca: Batan Ciptakan Varietas Kedelai Super Genjah)
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengatakan masalah kemandirian dan ketahanan pangan sekarang ini menjadi isu dunia yang sangat sentral. Vietnam, misalnya, kini melakukan upaya kemandirian pangan. "Amerika juga sekarang terus melakukan volume produksi gandum," tuturnya.
Negara lain, kata dia, sudah menyiapkan kemandirian dan ketahanan dari sekarang. Maka, Indonesia juga tidak boleh ketinggalan. "Jangan sampai kita punya duit tapi tak ada pangan yang bisa dibeli. Itu berbahaya," ujar Moeldoko.
Agar cita-cita mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan tersebut bisa cepat terlaksana, TNI melakukannya bersama rakyat. "Kalau bersama dengan rakyat, TNI dan negara bisa jadi kuat," Muldoko mengungkapkan komitmen kedekatan TNI dan rakyat. (Baca: Mentan Menyerah Genjot Swasembada Kedelai)
Luas perluasan lahan tanaman kedelai yang dikerjasamakan antara Kementan dan Mabes TNI pada 2014 mencapai 347 hektare yang tersebar di 15 provinsi dan 115 kabupaten. Di Jawa Barat tersebar di Kabupaten Subang, Karawang, Indramayu, dan Cirebon dengan luas tanam 22.400 ribu hektare.
"Indonesia pernah sukses swasembada kedelai tahun 1992," kata Menteri Pertanian Soeswono dalam pencanangan perluasan lahan tanaman kedelai yang dilakukan Kementan dan markas TNI di Desa Ponggang, Subang, Jawa Barat, Rabu, 14 Mei 2014.
Keberhasilan swasembada kedelai pada era tersebut, ujar Soeswono, karena luas lahan tanam dan institusi penyangga harga. Pada 1992, luas lahan yang ditanami kedelai mencapai 1,6 juta hektare dan harga kedelai di dalam negeri yang didilindungi Bulog bisa bersaing sehat dengan pasar internasional, sehingga para petani bersemangat menanam kedelai.
"Setelah Bulog tidak lagi berperan sebagai penyangga harga, harga kedelai terjun bebas dan petani malas menanamnya kembali," kata Soeswono.
Menurut Soeswono, kebutuhan kedelai dalam negeri saat ini mencapai 2,2 juta setiap tahun. Namun kemampuan produksi dalam negeri hanya 843,1 ribu ton atau kurang dari 45 persen. "Sisanya dipenuhi kedelai produk impor," ujar Soeswono.
Saat ini, ketika Bulog diberi peran penyangga dan pengendali harga kedelai, kesempatan menggerakan kembali petani menuju swasembada terbuka lebar. Caranya, dengan memanfaatkan lahan tidur yang tidak diolah dan menggandeng TNI bersama petani untuk merealisasikan perluasan tanamnya. (Baca: Batan Ciptakan Varietas Kedelai Super Genjah)
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengatakan masalah kemandirian dan ketahanan pangan sekarang ini menjadi isu dunia yang sangat sentral. Vietnam, misalnya, kini melakukan upaya kemandirian pangan. "Amerika juga sekarang terus melakukan volume produksi gandum," tuturnya.
Negara lain, kata dia, sudah menyiapkan kemandirian dan ketahanan dari sekarang. Maka, Indonesia juga tidak boleh ketinggalan. "Jangan sampai kita punya duit tapi tak ada pangan yang bisa dibeli. Itu berbahaya," ujar Moeldoko.
Agar cita-cita mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan tersebut bisa cepat terlaksana, TNI melakukannya bersama rakyat. "Kalau bersama dengan rakyat, TNI dan negara bisa jadi kuat," Muldoko mengungkapkan komitmen kedekatan TNI dan rakyat. (Baca: Mentan Menyerah Genjot Swasembada Kedelai)
Luas perluasan lahan tanaman kedelai yang dikerjasamakan antara Kementan dan Mabes TNI pada 2014 mencapai 347 hektare yang tersebar di 15 provinsi dan 115 kabupaten. Di Jawa Barat tersebar di Kabupaten Subang, Karawang, Indramayu, dan Cirebon dengan luas tanam 22.400 ribu hektare.
Indonesia tidak akan dapat memenuhi ambisi swasembada kedelai
tahun depan karena kurangnya lahan, menurut Menteri Pertanian Suswono, sehingga
negara ini sepertinya akan sangat bergantung pada impor.
Tahun lalu, Indonesia juga meninggalkan target swasembada gula putih pada 2014, dan kesulitan yang sama timbul untuk jagung, daging sapi, beras dan kedelai.
“Kami menghadapi masalah dengan kedelai dan gula putih,” ujar Suswono pada kantor berita Reuters, Rabu (27/3). “Masalahnya dengan kedelai dan juga gula adalah terbatasnya tanah pertanian.”
Ia mengatakan negara ini membutuhkan sedikitnya 500.000 hektar lagi untuk tanah perkebunan kedelai jika ingin mencapai target 2014, dari yang sekarang mencapai 600.000 hektar.
Tahun lalu, Indonesia juga meninggalkan target swasembada gula putih pada 2014, dan kesulitan yang sama timbul untuk jagung, daging sapi, beras dan kedelai.
“Kami menghadapi masalah dengan kedelai dan gula putih,” ujar Suswono pada kantor berita Reuters, Rabu (27/3). “Masalahnya dengan kedelai dan juga gula adalah terbatasnya tanah pertanian.”
Ia mengatakan negara ini membutuhkan sedikitnya 500.000 hektar lagi untuk tanah perkebunan kedelai jika ingin mencapai target 2014, dari yang sekarang mencapai 600.000 hektar.
Dalam catatan
GATRA, sudah tiga tahun terakhir (2011-2013) lonjakan harga kedelai selalu
terjadi pada Juli-Agustus. Agustus tahun lalu, misalnya, harga kedelai sempat
naik dari Rp 6.000 menjadi Rp 10.000 per kilogram. Agustus tahun ini, hal
serupa terjadi.
Para pengamat ekonomi pun hafal dengan kebiasaan itu.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Munrohim Misanam, menyebut
kedelai sebagai komoditas yang secara reguler bikin resah. “Setiap bulan
Agustus selalu ada gejolak,” katanya.
Kamis pekan lalu, KPPU menggelar public hearing untuk
membahas permasalahan seputar komoditas kedelai. Ironisnya, hal yang sama juga
pernah diadakan KPPU tahun lalu, pada 14 Agustus 2012. Topiknya pun tak beda.
Munrohim juga masih ingat public hearing tahun sebelumnya itu. “Apa yang salah?
Regulasi? Atau jangan-jangan ada permainan?” katanya.
Temuan dalam public hearing tahun ini tidak jauh berbeda
dari tahun sebelumnya: banyak indikasi kalau ada kartel kedelai. Saat ini,
kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,5 juta ton. Sedangkan produksinya hanya
sekitar 800.000 ton, atau cuma 30% dari total kebutuhan. Kekurangan sebesar 70%
pun diimpor.
Dengan kekurangan sebanyak itu, peran importir kedelai
memang sangat besar. Suharto, Wakil Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu
Indonesia (Gakoptindo), mengatakan bahwa pelonjakan harga kedelai pada Agustus
disebabkan para importir menunggu surat persetujuan impor (SPI) yang baru turun
pada 30 Agustus.
Sebelum SPI itu turun, importir tidak menjual semua kedelai
mereka lantaran khawatir stok habis sementara SPI belum keluar. “Akhirnya
panik, karena importir nggak jual lagi. Atau jualnya ngeteng (eceran),”
katanya.
Tudingan lebih lantang datang dari Institute of Economics
and Finance (Indef). Dalam diskusi bertema “Gejolak Harga Kedelai: Analisis
Kartel dan Monopoli”, di Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa lalu, peneliti
Indef, Enny Sri Hartati, menyebut adanya praktek kartel dalam kuota impor
kedelai.
Praktek itu melibatkan tiga perusahaan yang menguasai kuota
impor sampai 66,33%. “Satu perusahaan bahkan hampir memonopoli,” ujarnya.
Data penelitian Indef menyebut, dari 14 importir pemegang
SPI, ada tiga perusahaan yang memegang kuota impor terbesar. Perusahaan itu
adalah PT FKS Multi Agro yang mendapat kuota terbesar dengan 46,71% atau
sebanyak 210.600 ton, PT Gerbang Cahaya Utama sebesar 10,31% (46.500 ton), dan
PT Budi Semesta Satria dengan 9,31% (42.000 ton).
”Perusahaan lainnya hanya mendapat kuota di bawah 5%,” kata
Enny.
Peneliti Indef lain, Didik J. Rachbini, memberi ilustrasi
tentang betapa besarnya posisi tawar para importir tersebut. “Kalau importir
kedelai terbesar itu menutup gudang selama sepekan saja, harga sudah pasti
naik.” Penelitian Indef ini juga membantah spekulasi yang beredar bahwa
kenaikan harga kedelai disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dolar. “Itu tidak betul. Ini indikasinya karena kartel,” kata Didik lagi.
KRITIK DAN SARAN TERKAIT TENTANG
SWASEMBADA PANGAN DI INDONESIA?
-
Menurut saya pada
swasembada beras, seharusnya pemerintah harus bekerja ekstra untuk mewujudkan
swasembada pangan ini masalahnya lahan pertanian saja sudah banyak dialih
fungsikan sebagai gedung-gedung bertingkat dan tenaga kerjanya saja sudah
banyak yang beralih profesi menjadi buruh pabrik ketimbang menjadi petani yang
sudah sejak dahulu menjadi mata penaharian sebagian besar warga Indonesia.
Masalah yang paling
utama dimana para petani beralih profesi menjadi buruh pabrik yaitu gaji yang
sangan tinggi dibandingan dengan menjadi petani yang belum jelas berapa
pendapatan mereka setiap panen, belum lagi ditambah jika sawah mereka yang
ingin panen malah mengalami gagal panen, itu sangat membuat para petani
mengalami kerugian yang sangan besar belum lagi ditambah gaya jual yang melorot
sangat rendah dari jumlah modal yang mereka keluarkan dan tenaga mereka hanya
diupah sangat minim tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Jika menjadi
buruh pabrik mereka sudah mendapatkan gaji yang sudah tentu, tidak usah
susah-susah mencari pupuk bahkan tenaga mereka dihargain layak saat bekerja.
Kementrian
Pertania juga harus membuka lahan pertanian baru, serta mendirikan sekolah
khusus para petani agar lebih baik menginovasikan waktu, modal, dan tenaga
mereka, harus bisa juga mempromosikan bahwa menjadi petani tidak akan hidup
miskin dan membuat inovasi bahan pangan yang rasa, bentuk serta kandungan
gizinya sama seperti bahan pangan yang akan diswasembada pangankan, membuat
irigasi yang memadai dan memiliki teknologi yang modern agar semua sawah pada
saat kemarau tidak mengalami kekeringan, melindungi semua lahan pertanian agar
tidak disalah fungsikan menjadi bangunan ataupun gedung.
- Jika
pada progam pemerintah swasembada gula sama saja seperti halnya tahap pada
swasembada beras, masalahnya tidak jauh dengan masalah swasembada beras yang
sampai sekarang belum tercapai, pada swasembada gula juga sangat sulit dicapai,
karena perkebunan tebu saja yang ada dilahan hijau sudah sangat menipis sekali.
- Pada
progam kedelai juga masih jauh dari harapan kita untuk mendapatkan bibit serta
kualitas kedelai yang sangat unggul, untuk mendapatkan kualitas yang sangat unggul
harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal sekali, karena kita masih mengimpor
kedelai.
- Sedangakan
jika pada program daging kita juga masih mengandalkan impor dari luar, padahal
kualitas daging dari dalam negri tidak jauh bagusnya dari luar, hanya saja kita
memang harus meningkatkan jumlah angka kelahiran sapi yang bermutu tinggi agar
menjadi sapi potong yang sangat baik.
Sumber :
- http://disperta.jambiprov.go.id/index.php/news/read/225/Swasembada-Pangan-Sulit-Tercapai-pada-2014